This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 02 Juni 2011

Angklung :) (yes i like it)

   Latar Belakang Angklung
Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan yang belum dapat dijawab dengan pasti. Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid XIX, hal. 4).
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang sudah  berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.
Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum menemukannya, Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181.
Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam kekawin Bharata Yuda. Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati Dhaha Kediri.
      Fungsi Angklung Tradisi
Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. Di beberapa tempat di Bali angklung biasa digunakan khusus dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelomopok penduduk yang tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem.
Orang Baduy di Kanekes , Bnaten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun.
Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, angklung merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu, sepanjang pengetahuan saya angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.
Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan Barat terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3.
Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak terdapat lagi angklung tradisional.
Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.
Menurut keterangan, Kata Gepang disini berarti gepeng atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu.
Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.
 Perubahan Sifat dan Fungsi
Sebagaimana telah dikemukakan, hampir tidak ada keterangan tertulis autohtonis dari angklung pada masa dahulu, yang terdapat hanyalah cerita-cerita lisan, sebagaimana terdapat dalam beberapa cerita rakyat di Kanekes, Banten Selatan yang biasa dibawakan dalam bentuk pantun. Menurut cerita di sana, pada masa kebesaran Pajajaran, kerajaan di Pasundan, disamping sebagai alat musik upacara pertanian, angklung biasa digunakan sebagai alat musik angkatan bersenjata, semacam Marching Band.
Melihat cara-cara permainan angklung di Banten selatan dan di beberapa tempat Priangan, demikian pula peranannya dalam pertunjukan Reog Ponorogo dan permainan Kuda Kepang, kemungkinan dipergunakannya angklung sebagai alat musik tidaklah mustahil.
Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di Priangan, dengan tegas mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (“dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer”).
Demikian seorang dengan naman samaran “Bianca” dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, tentang angklung sunda antara lain menulis; Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (“pada umumnya musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan semangat perjuangan dan mistik”).
Penulis lain yang anonim adalah majalah WOLANDA HINDIA tahun ke-12 No.6, 1939, setelah menyaksikan beberapa pertunjukan angklung Priangan, antara lain menulis: Dat deze muziek indruk op de beveling maakt, is bewezen. Zij beluisteren in de klanken krijgsmuziek, tewijl daartegen over bij anderen zinnelijke aandoeningen worden opwekt” (Bahwa musik ini maksudnya musik angklung, pen) dapat menimbulkan kesan mendalam bagi penduduk, cukup terbukti. Mereka mendengar musik parang dalam bunyinya, sedang bagi yang lain menimbulkan emosional”).
Demikianlah pengaruh musik angklung pada pendukungnya di Priangan pada masa lalu. Maka tidak mengherankan bila pada pertengahan abad ke XIX, ketika di Pasundan sedang giat-giatnya dilaksanakan apa yang disebut “Cultuurstelsel” atau peraturan tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda diadakan larangan terhadap permainan angklung.
Alasan larangan itu, karena menurut pengamatan beberapa pembesar Belanda Kolonial, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat atas kekuasaan pemerintah jajahan dalam larangan itu dikecualikan permainan angklung anak-anak dan pengemis, mungkin karena dianggap tidak menimbulakan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintah jajahan Belanda.
Sejak itulah angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang dianggap sakral menjadi alat musik yang biasa digunakan oleh pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan dari belas kasihan orang.
Setelah larangan itu dicabut, yaitu sejak dihapusnya sistem tanam paksa, angklung tidak banyak lagi pengaruhnya bagi penduduk, kecuali sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan rakyat seperti reog atau ogel.
Keadaan nasib angklung di Priangan yang demikian itu berlangsung hampir satu abad. Baru menjelang masa penjajahan Jepang terjadi perubahan, sebagai hasil kreativitas dan usaha tidak kenal mundur dari Daeng Soetigna, seorang Guru di Kuningan, kelahiran Garut.
Pada masa gerakan kebangsaan di kalangan bangsa Indonesia makin menggelora, angklung yang sekian lamanya ikut menjadi korban penjajahan asing, mulai terjaga kembali.
Sejak tahun 1938 Daeng Soetigna dengan tekun mengadakan eksperimen-eksperimen agar angklung yang diketahui sebagai salah satu unsur seni budaya bangsanya dan merupakan warisan yang pantas dipupuk dan dikembangkan, mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat luas.
Setelah lama dipelajari dari berbagai segi, Pak Daeng sampai pada kesimpulan, bahwa angklung dapat cepat popular harus disesuaikan dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis menjadi diatonis.
Setelah mengalami berbagai hambatan dan kegagalan, akhirnya usaha inovator itu berhasil dengan memuaskan.
Angklung kembali mendapat tempat yang layak di masyarakat. Bahkan mendapat reputasi internasional, sebagaimana terbukti dari pernyataan seorang musikus besar Australia IGOR HMEL NITSKY pada tahun 1955, sebagai berikut :
“It is with pride and admiration that take this opportunity of placing on paper my surprise delight that Daeng Soetigna has found such a practical and fasginating method af teaching the youth of Indonesia how to a appreciate and play their own historic instrument, the angklung. His original idea of enabling young children to read and understand that tonal structure by visual and practical demonstration, is to say the least, wonderful.
This extraordinarily talented young teacher has also found a way in which to use is national idion to bring European music to the people of his country. The great value in giving the players the rare combination of pleasure and discipline-i.e. good teamwork which would give a unique satisfaction both to performers and audience.
I doubt whether Australia is the ideal place in which he should study further, and feel that his development would be best nurtured by study and research in European contries, and I sincerely hope that he will have the opportunity of so doing, and thus be in the position to further enrich his countrymen in this practical, educational, cultural and national interest”
Dengan kreasi Pak Daeng itu ternyata kemudian, bahwa angklung dapat dijadikan sarana pendidikan untuk mempertebal jiwa gotong royong, kerjasama, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggungjawab dan sebagainya, disamping pemupu rasa musikalis.
Berdasarkan hal-hal itulah, meskipun menurut anggapan beberapa pihak, angklung sebagai alat musik memiliki beberapa kekurangan, akan tetapi dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat pendidikan, sehingga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memandang perlu untuk menetapkannya sebagai alat pendidikan musik di sekolah, dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Agustus 1968, No.082/1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan:
1.    Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2.    Menugaskan Direktur Jenderal Kebudayaan untuk mengusahakan agar angklung dapat ditetapkan sebagai alat pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Demikian, angklung seolah-olah melambangkan pasang surutnya sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia berada dalam telapak kaki penjajah, angklung hanya menjadi alat musik pengemis. Dengan dicapainya kemerdekaan, kembali angklung menjadi alat musik yang dapat dibanggakan.
…….Angklung sudah mengajarkan kepada kita untuk hidup berdampingan dalam keberbedaan untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian janganlah mengharamkan perbedaan, justru dengan adanya perbedaan maka lahirlah sebuah harmoni. Jadi perbedaan itu bukan untuk ditandingkan, tapi untuk disandingkan. Dengan perbedaan kita coba mengembangkan kekuatan baru.
 Penyajian Angklung
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.


Derry Muhammad Firdaus

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More